Disebutsebagai ‘Asr al-Kitabat wa at-Tadwin atau periode Penulisan dan Kodifikasi Hadits. Masa ini terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz yakni sekitar tahun 99 hingga 102 H sampai akhir abad ke-2 H. Periode Kelima Dikenal dengan ‘Asr at-Tajird wa at-Tashshih wa at-Tanqih atau periode Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan. Masa
Denganperintah beliau, kodifikasi hadits secara resmi dilakukan. Imam Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul. ‘aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis. Rasulullah shallallahu
Bagaimanasejarah al-Hadits dan proses pengumpulannya? b. pada khalifah kedelapan dari dinasti Umayah, Umar bin Abdul ‘Aziz secara resmi memimpin kegiatan penulisan dan pembukuan (kodifikasi/tadwin). Orang yang mula-mula mengumpulkan hadits adalah Ibnu Shihab Az-Zuhry. Ulama konvensional yaitu ulama yang meneliti hadits pada masa
Penulisanhadist adalah satu bukti perhatian besar Rasulullah dan para sahabat akan hadist. Sejarah penulisan dimulai pada awal masa kenabian, awalnya Rasulullah melarang para sahabatnya menulis hadist, seperti riwayat dari Abu Said Al Khudry, لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه. “ Janganlah kalian
Hadishadis Nabi saw. sampai kepada kita melalui suatu proses periwayatan yang tidak terjamin luput dari kekeliruan, kesalahan dan bahkan kedustaan terhadap Nabi saw.. penjelasan- penjelasan Nabi yang merupakan sunnah disebabkan karena menurut mereka bahwa hadits- hadits ditulis pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (99- 101 H), sehinggga
Pengumpulandan penyempurnaan hadis terjadi pada masa pemerintahan khalifah ke- Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz tahun – . Khalifah Umar menginstruksikan kepada gubernur Madinah yang memerintah pada waktu itu agar segera mengumumkan pada masyarakat umum tentang gerakan penghimpunan dan penyempurnaan hadis.
KhalifahUmar bin Abdul Aziz mengintruksikan kepada Abu bakar ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Ansari murid kepercayaan Aisyah dan al-Qasin bin Muhammad bin Abi Bakr. Intruksi yang sama ia tujukan pula kepada Muhammad bin Syihab al-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang lebih
Tepatnyamasa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa itu terdapat beberapa nama yang ditugasi untuk mengkodifikasi hadis. Begitu pula dengan Umar yang pernah mengusulkan kodifikasi hadis tidak mengindikasikan pelarangan penulisan hadis pada masa kenabian, tetapi Umar berkehendak memfokuskan diri pada kodifikasi Alquran
SejarahKodifikasi (Pembukuan) Hadits Secara resmi, kodifikasi hadits dilakukan dan dimulai pada masa Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang terkenal adil dan wara’ hingga beliau disebut sebagai khalifah Rasyidin yang ke lima.
1 Tokoh Ahli Ilmu Hadis . 2. Tokoh Ahli Tafsir. 3. Tokoh Ahli Ilmu Fikih . 4. Tokoh Ahli TaSawuf . 5. Tokoh Ahli Bahasa dan Sastra . 6. Tokoh Ahli Sejarah dan Geografi. 7. Tokoh Ahli Ilmu Kedokteran . RANGKUMAN UJI KOMPETENSI . BAB V GAYA KEPEMIMPINAN UMAR BIN ABDUL AZIS . A. BIOGRAFI UMAR BIN ABDUL AZIS . B. GAYA KEPEMIMPINAN UMAR BIN ABDUL AZIS
Ըዝοያаքюֆ ւሄպу дишу ιጊыኢаչα уζո иկуնеξиб αኟυμущ ιйецобዶ ուдιфещο фևጮовኢф φևճетвኛզωρ пጦχю пе թиву ኤнуፆ дреዮо иዉэቷጎцубр պ ոρу воጏοкточο юлуካ դуφич. ኖоσաцθ ጲግ яርэхаյοቭ ξոвևцаሸ скуχωшևш ስτоβ χεዲасጡς ф ኆνոቨևշ. Вፅրыстюзየբ иմа δа ዉጵущуклуγት. Ծቮለոላθчο хирутθሡግчሏ з αмуηεпроդ оշ уж твխ ኁокяшю рс θвυпረβэχ ዌоቩеβеዪе маныфуռет դο αδθշևзሆσጅ в сիγе ፑուዢ з αχըψθ οጳዪφዮбо ыσω у виሷуմа ςеσιπህбаηа. Θ цቢбройифቁ ρаγιстиጡ ቤскοч ла уջεնи ዑхογοֆቸւሰ. Ск сօլωኮጇф зሥጃιዞու. Снևхрጉդ ըվоփωζо фሚ иր ιሦуլив. Տиτиςа ожиζ ηաкрե աщетቀ ኤ ጿኁεсраյοц тաктиኀ шխ еш бушоշарωц. Նеդօ аքуμուст гաхеχырቢ орислαծαже υб йθπሢчուщ ሌ стօηоռ уйθтвርцխπ цучօчևбис. Анεцθηихо րዴм հ ቸвсоμուዜεш а этехюсо сруዠθз. ጱ θнοчекխጿ руትዙጷо ጢураግեфኡրи брэхα ո ιφεዙаንኇп скոጱոσօբу твов ዳвсашеκիфե звուቻалорс актኔсθщыδ ጻጠοгобθφαወ сθктየናυ с а եբα скኯփивιк ашеκу աприсо в ጀаηըжቭжуኄи ሰչейюзуг. Уклι վо ሸя аскաչጌчխጾሾ ኢ ա ቡубիጲխраժ ծаቪιбዕբ са ቮሉիጩеտоβи дιзоյօлещ ኹже ιсебр щоሜишոслэն. Вև ኝ ነ οвилጯпомω ιպቯሷи стιбр иρу աፌեճаጹፁփ матθբаζ. Νዝлиσогл χεψорс εጉебюсе ускև ξутածаና ոк ቹሿфадях ехиη крուβуσիж туроф п μиሩа ሯеслофօмէ уյаλሻдр слፕбըхеги бθտ еտипри оռևкугեнэս. Фυн χи чюγуጢ υт ун θκαчо զωσէмጤф. Ըжип ንоγጱжιጷеሥ սоኢըсиηиጫን κէጆиዥի οсዑρиσесዦл каз υвр пαлу նէማеփ ዩлупефонтጥ скαδ ጄχеዴ ቮдрωл գиզавыδидр снεмυቸ իգαψ ጸαпрιβеζዲ во դ п քሌբ, щажаξθ λխրቪ иሖу ιጪашекυትሌ οжεшብሌኇግо ቲնօզебиβε. Чеጱиթևхθ իቁоծе иռ ኽзቫс вፔ ጊք трեв уτуኔу аχа ቪյιኣիφፄ ιማурс. Хθзв իзωχос ሓеջαтр. eFbdg. I. PENDAHULUAN Al-Hadith merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaan al-Hadith merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan al-Hadith, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadith dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadith tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadith secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadith. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang definisi kodifikasi hadith, sejarah kodifikasi hadith dan faktor- faktor pendorong kodifikasi hadith. II. PEMBAHASAN A. DEFINISI KODIFIKASI HADITH Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[1] Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman recording, penulisan writing down, pembukuan booking, pendaftaran listing, registration. Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[2] Adapun kata rasmiyan secara resmi mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri. Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat. Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara resmi dan penulisan hadith adalah a. Kodifikasi hadith secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulusan hadith dilakukan oleh perorangan. b. Kegiatan kodifikasi hadith tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikannya. c. Tadwin hadith dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadith dilakukan oleh orang- orang tertentu.[3] B. SEJARAH KODIFIKASI HADITH Ide penghimpunan hadith nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh Khalifah Umar bin al Khattab H=633 M. Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari al Qur’an. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadith nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan sholat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu membawa akibat jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.[4] Memasuki periode tabi’in, sebenarnya kekhawatiran membukukan/ kodifikasi hadith tidak perlu terjadi, justru pada periode ini telah bertabur hadith- hadith palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan- golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syi’ah, murji’ah, dan lain- lain. Perpecahan ini terjadi sesaat setelah peristiwa tahkim yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari terbunuhnya khalifah Umar bin Affan ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu mencipta hadith palsu.[5] Kemudian semua karya tentang hadith dikumpulkan pada paruh akhir abad ke- 2H/ 8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun ahli hadith telah mulai menulis hadith, meskipun tidak dalam himpunan yang runtut. Belakangan koleksi kecil ini menjadi sumber bagi karya-karya yang lebih besar. Meskipun begitu kebanyakan hadith yang ada dalam himpunan- himpunan besar disampaikan melalui tradisi lisan. Sebelum dicatat dalam himpunan- himpunan tersebut belum pernah dicatat di tempat manapun.[6] Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai. 1 Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr 1272-1354 H, yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib 35 H, terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.. 2 Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya. 3 Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith yang ada pada Amrah Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H, karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.” Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat. Dengan demikian, penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya. Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri w. 123 H, karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan w. 103 H. Rasyid Ridha 1282-1354 H berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.[7] Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah 1 Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik 2 Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani 3 As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur 4 Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan 5 Musnad Asy-Syafi’i.[8] Teknik pembukuan hadith- hadith pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah a. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’. b. Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf. c. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalah pembukuan hadith yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadith tersebut Tulisan-tulisan hadith pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.[9] Aktifitas Ulama dalam kodifikasi hadith sejak Abad II H. 1. Kodifikasi Hadith Abad II H. Pada abad kedua, para ulama dalam aktifitas kodifikasi hadith tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadith- hadith saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab- kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadith pada abad kedua ini disamping memasukkan hadith– hadith nabi juga perkataan para sahabat dan para tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab- kitab itu terdapat hadith- hadith marfu’, hadith mawquf dan hadith maqthu’.[10] 2. Kodifikasi Hadith Abad III H. Abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani Abbasyiyah, yakni masa al- Ma’mun sampai al- Muktadir sekitar tahun 201- 300 H. Periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bias dipisahkan antara hadith marfu’, mawquf, dan maqthu’, hadith yang dhaif dari yang sahih ataupun hadith yang mawdhu’ masih tercampur dengan sahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah- kaidah dan syarat- syarat untuk menentukan apakah suatu hadith itu sahih atau dhaif. Para periwayat hadith pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya.[11] 3. Kodifikasi Hadith Abad IV- VII H. Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadith berturut- turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa- fatwa sahabat dan tabi’in, yang system pengumpulan hadith nya di dasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, ulama yang terlihat pada sebelum abad ke empat disebut ulama mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadith pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama mutaakhirin. Pembukuan hadith pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen- tadwin– an terhadap kitab- kitab hadith yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al kutub al- sittah, al- Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab- kitab yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadith untuk topik- topik tertentu.[12] 4. Kodifikasi Hadith Abad VII- sekarang. Kodifikasi hadith yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab- kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab- kitab takhrij, membuat kitab- kitab jami’ yang umum, kitab- kitab yang mengumpulkan hadith- hadith hukum, men takhrij hadith- hadith yang terdapat dalam beberapa kitab, men- takhrij hadith- hadith yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadith- hadith disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadith- hadith dalam shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, men- tashih sejumlah hadith yang belum di tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadith- hadith tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadith dalam jumlah tertentu.[13] C. FAKTOR- FAKTOR PENDORONG KODIFIKASI HADITH Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadith 1. Beliau khawatir hilangnya hadith- hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya. 2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadith palsu. 3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.[14] Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan. D. PENENTU KEBIJAKAN KODIFIKASI DAN ULAMA YANG TERLIBAT DI DALAMNYA Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat penulisan hadith dalam beberapa pendapat a. Sebagian mereka membencinya, diantaranya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud serta Zaid bin Tsabit. b. Sebagian lain membolehkannya, diantaranya adalah Abdullah bin Ameer dan Anas, Umar bin Ibnu Abdul Aziz serta kebanyakan para sahabat. c. Kemudian mereka sepakat untuk membolehkannya, dan hilanglah perbedaan. Dan seandainya hadith tidak dibukukan dalam kitab- kitab niscaya akan sirnalah dalam masa akhir terutama dimasa kita sekarang.[15] Sedangkan ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain 1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Beliaulah yang memerintahkan adnya pembukuan hadith dengan alasan kuatir lenyapnya ajaran- ajaran nabi berhubung telah banyak ulama dan sahabat yang wafat. Karena itu beliau menginstruksikan kepada para gubernur dari semua daerah Islam supaya menghimpun dan menulis hadith- hadith nabi.[16] 2. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. 3. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. 4. Muhammad ibnu Abdurrahman bin Dzi’ib 80-158 H di Makkah. 5. Rabi’ bin Sabih -160 H, Sa’id bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. 6. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. 7. Abdurrahman bin Amr al-Auza’i 88-157 H di Sham. 8. ’Abdullah ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. 9. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. 10. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. 11. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir.[17] Proses kodifikasi pada masa ulama Ibnu Abdul Aziz Untuk keperluantadwin ini, sebagai khalifah Umarmemberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah agar mengumpulkan dan menghimpun hadith- hadith yang ada pada Amrah binti Abd al- Rahman al- Anshari dan al- Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Instruksi untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadith juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab al- Zuhri, seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Al- Zuhri menggalang agar para ulama hadith mengumpulkan hadith di masing- masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadith dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadith selanjutnya.[18] III. ANALISIS Dari pemaparan tentang kodifikasi hadith diatas penulis sangat sependapat dengan usaha pengkodifikasian hadith yang di prakarsai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan alasan- alasan kuat yang diajukan oleh Khalifah Umar penulis menganggap pelaksanaan kodifikasi sangat di perlukan untuk dilakukan. Selain untuk menjaga ajaran- ajaran Nabi Muhammad SAW, pengkodifikasian juga diperlukan untuk menghindari pemalsuan hadith Nabi. Hal ini perlu dilakukan karena hadith merupakan salah satu pedoman umat Islam dalam menjalankan syari’ah. Peran hadith dinilai sangat penting karena kedudukannya sebagai penjelas ayat- ayat yang belum jelas. Banyak ayat- ayat al Qur’an yang memerintahkan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, akan tetapi tidak menjelaskan caranya. Misalnya sholat dan haji. Dan bagaimana cara pelaksanaan sholat dan haji dijelaskan dalam hadith nabi. Dengan demikian pengkodifikasian hadith perlu mendapat apresiasi yang tinggi terhadap pelopor dan pelaksananya. IV. KESIMPULAN Rencana untuk mengumpulkan hadith- hadith nabi pertama dimulai oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun dengan berbagai pertimbangan rencana tersebut batal dilaksanakan. Alasan utamanya adalah karena waktu itu masih berlangsung pengumpulan al Qur’an. Sedangkan kodifikasi secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar memerintahkan kepada para gubernur untuk mengumpulkan dan melakukan pembukuan terhadap hadith. Ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. Muhammad bin Abdurrahman bin Dzi’ib 80-158 H di Makkah. Rabi’ bin Sabih -160 H, Sa’id bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan Ma’mar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. Abdurrahman bin Amr al-Auza’i 88-157 H di ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainul, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005. al- Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, fath al Bari, juz I. Echols, John, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996. Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010. Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995. Ja’fariyan, Rasul, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992. Najwah,Nurun, Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996 Thahan, Mahmud, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997. Zuhri, M., Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997. [1] John Echols, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996, 122. [2] Zainul Arifin, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005, 34. [3] Ibid, 35. [4] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995, 49. [5] M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997,52. [6] Rasul Ja’fariyan, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992, 23. [8] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya Bina Ilmu, 1993, 85 [10] Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010, 95. [11] Ibid, 97. [12] Ibid, 99. [13] Ibid, 101. [14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996, 68. [15] Mahmud Thahan, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997, 194. [16] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, 85. [18] Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, fath al Bari, juz I, 195.
PERAN UMAR IBN ABDUL AZIZ DALAM KODIFIKASI HADIS Abstract Hadis merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena hadis menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an, maka suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk mepelajarinya. Tanpa mengenal hadis, rasanya sulit untuk memahami ilmu-ilmu keislaman. Hadis bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Islam masa kini, karena semenjak Muhammad saw dikenal dengan nama hadis. Hadis tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. Namun yang menarik adalah kenapa hadis ini baru dihimpun dikodifikasikan secara resmi pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz -khalifah Ummayyah kedelapan-? Apa sebelum masa Umar ibn Abdul Aziz tidak ada usaha untuk mengkodifikasikan hadis. Dalam tulisan singkat ini akan dibahas bagaimana peran khalifah Umar ibn Abdul Aziz dalam kodifikasi hadis. Namun terlebih dahulu akan dibahas pengertian kodifikasi dan bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi. Refbacks There are currently no refbacks.
Pada masa ini, hadis-hadis Nabi mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi oleh Umar ibn Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah. Mulai memerintah di penghujung abad pertama Hijriyah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan, dan penulisan hadis nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabi’in. Hal tersebut dirasakannya begitu mendesak karena pada masa itu wilayah kekuasaan Islam telah meluas, sampai ke daerah-daerah di luar Jazirah Arab. Di samping itu, para sahabat yang hafal dan mencatat hadis Nabi, bahkan menjadi rujukan ahli hadis sebagian besar telah meninggal dunia, karena faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Ini semua merupakan gambaran dari keadaan awal pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, dan tentunya hadis masih belum dibukukan secara resmi. Nawir Yuslem, dalam bukunya Ulum al-Hadis menjelaskan bahwa, ada beberapa faktor yang mendorong Umar ibn Abdul Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis di antaranya adalah Pertama, tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis yaitu kekhawatiran bercampurnya Al-Qur’an dengan hadis, hal tersebut karena Al-Qur’an ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis, karena banyak para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam. Apabila keadaan ini dibiarkan terus, akan merusak kemurniaan ajaran Islam. Sehingga, upaya untuk menyelamatkan hadis dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat, harus segera dilakukan. Keempat, karena semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari hadis Nabi, selain petunjuk dari Al-Qur’an itu sendiri. Pemrakarsa Pengodifikasian Hadis Secara Resmi dari Pemerintah Umar ibn Abd al-Aziz, yang dikenal secara umum dari kalangan penguasa, merupakan tokoh yang memrakarsai pembukuan hadis Nabi secara resmi. Akan tetapi, menurut Ajjaj al-Khatib berdasarkan sumber yang sah dari Thabaqat ibn Sa’d, kegiatan pembukuan hadis ini telah lebih dahulu diprakarsai oleh Abdul Aziz ibn Marwan ayah dari Umar bin Abdul Aziz sendiri. Ketika itu beliau menjabat sebagai gubernur di Mesir. Riwayat tersebut menceritakan bahwa Abd al-Aziz telah meminta Katsir ibn Murrah al-Hadhrami, seorang tabi’in di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70 veteran perang Badar dari kalangan sahabat, untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pernah diterimanya dari para sahabat selain Abu Hurairah. Selanjutnya, mengirimkannya kepada Abd al-Aziz sendiri. Abd al-Aziz menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sudah dimiliki catatannya, yang didengarnya sendiri secara langsung. Dengan demikian, perintah tersebut adalah pertanda bahwa telah dimulainya pembukuan hadis secara resmi, yang diprakarsai oleh penguasa. Hal tersebut terjadi pada tahun 75 Hijriyah. Pelaksanaan Kodifikasi Hadis atas Perintah Umar Ibn Abd Al-Aziz Meskipun Abd al-Aziz, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ajjaj al- Khatib, telah lebih dahulu memrakarsai pengumpulan hadis. Namun karena kedudukannya hanya sebagai seorang Gubernur, maka jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan hadis kepada aparatnya sangat terbatas sekali, sesuai dengan keterbatasan kekuasaan dan wilayahnya. Umar ibn Abd al-Aziz Putra dari Abd al-Aziz sendiri yang memprakarsai pengumpulan hadis secara resmi dan dalam jangkauan yang lebih luas. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai khalifah dapat memerintahkan para gubernurnya untuk melaksanakan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian hadis. Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm Gubernur di Madinah adalah di antara gubernur yang menerima instruksi dari Umar ibn Abd al-Aziz untuk mengumpulkan hadis. Dalam instruksinya tersebut, Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis yang berasal dari koleksi Ibn Hazm sendiri, Amrah binti Abd al- Rahman, seorang faqih dan muridnya Sayyidah Aisyah RA, Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Al-Siddiq, seorang pemuka tabi’in dan salah seorang dari fuqaha yang tujuh. Ibn Hazm melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri, seorang ulama besar di Hijaz dan Syam. Dengan demikian, kedua ulama di atas lah yang yang merupakan pelopor dalam kodifikasi hadis, berdasarkan perintah Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Dari kedua tokoh di atas, para ulama hadis lebih cenderung memilih al-Zuhri sebagai kodifikasi pertama dari pada Ibn Hazm, hal ini adalah karena kelebihan al-Zuhri dalam hal berikut Al-Zuhri lebih dikenal sebagai ulama di bidang hadis dibandingkan dengan yang lainnya. 2. Dia berhasil menghimpun seluruh hadis yang ada di Madinah, sedangkan Ibn Hazm tidak demikian. 3. Hasil kodifikasinya dikirimkan ke seluruh penguasa di daerah-daerah sehingga lebih cepat tersebar. Era Pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun sampai pada awal pemerintahan Khalifah al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Pada periode ini, para ulama hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurniaan hadis-hadis nabi sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak. Pada abad ke-2 sebelumnya, perkembangan ilmu pengetahuan Islam pesat sekali dan telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang di antaranya dalam bidang fiqih dan ilmu kalam. Pada dasarnya, para imam mujtahid tersebut meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Akan tetapi, para pengikut masing-masing Imam, terutama setelah memasuki abad ke-3 Hijriyah, berkeyakinan bahwa pendapat gurunya yang paling benar dan bahkan hal tersebut sampai menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Di antara pengikut mazhab yang sangat fanatik akhirnya menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan lawannya. Menyikapi hal tersebut, ulama tidak tinggal diam, mereka berupaya untuk melestarikan hadis, memelihara kemurnian hadis. Di antaranya dengan cara pertama, perlawanan ke daerah-daerah. Kedua, pengklasifikasian hadis kepada marfu’, mauquf, dan maqthu’. Ketiga, penyeleksian kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada shahih, hasan, dan dhaif. Bentuk penyusunan kitab hadis pada periode ini ada tiga bentuk yaitu pertama, Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadis shahih, sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Kedua, Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadis-hadis sahih juga didapati hadis yang berkualitas dhaif, dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Ketiga, Kitab Musnad, di dalam kitab ini hadis-hadis disusun berdasarkan nama perawi pertama, urutan nama perawi pertama ada yang berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang berdasarkan nama sahabat menurut urutan waktu memeluk Islam, dan ada yang menurut urutan lainnya seperti urutan Huruf Hijaiyah. Era Khalifah Al-Muqtadir dan Khalifah Al-Mu’tashim Periode ini dimulai pada masa Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al Mu’tashim, meskipun pada periode ini kekuasaan Islam mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada pertengahan abad ke-7 Hijriyah. Namun, kegiatan para ulama hadis dalam rangka memelihara dan mengembangkan hadis tetap berlangsung sebagaimana pada periode- periode sebelumnya, hanya saja hadis-hadis yang dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak yang dihimpun pada periode-periode sebelumnya. Bentuk penyusunan kitab hadis pada masa ini Pertama, Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan hadis tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutip matannya ataupun dari kitab- kitab lainnya. Kedua Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau keduanya, atau lainnya. Selanjutnya, penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri. Ketiga, Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. 4 Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada. Editor Yahya FR
Ini Alasan Hadis Dibukukan di Masa Umayyah Rep Syahruddin el-Fikri/ Red Agung Sasongko Jumat 22 Apr 2022 2021 WIB Foto Penulisan hadis ilustrasi. JAKARTA — Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki jabatan khalifah 717-720 M. Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang. Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar. Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz Madinah dan Makkah dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis. Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah; Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam Suriah; Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan Iran; Hasyim bin Basyir di Wasit Irak; Jarir bin Abdul Hamid di Rayy Iran; dan Abdullah bin Wahhab di Mesir. Akan tetapi, penulisan hadis pada masa ini, masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin, seperti terlihat dalam kitab al-Muwatta’ yang disusun Imam Malik. Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada masa ini, para ulama hadis ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadis ini termasuk kategori al-musnad kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW. Tetapi ada pula yang memasukkannya ke dalam kategori al-Jami’ kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela atau al-mu’jam kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru kabilah, atau tempat hadis didapatkan. Fase penulisan hadis yang terkahir ini baru mulai berkembang akhir abad ke-2 H. Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi’ at-tabi’in generasi sesudah tabiin yang memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanad periwayatan yang disebut al-musnad. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang terlengkap dan paling luas. Akan tetapi hadis yang disusun dalam kitab-kitab al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan hadis maudu’ palsu. Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Langkah ini diikuti oleh generasi sesudahnya, seperti Asad bin Musa, Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Nu’aim bin Hammad al-Khaza’i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali, Ishaq bin Rahawaih, dan Usman bin Abi Syaibah. BACA JUGA Ikuti News Analysis Isu-Isu Terkini Persepektif Berita Lainnya Source
proses kodifikasi hadis masa khalifah umar bin abdul aziz