Sosokyang menginspirasi adalah Nagagini. Budayawan mengungkapkan, Nagagini hanya salah satu tokoh mitologi nusantara yang sosoknya berupa ular. Dunia pewayangan juga memiliki lakon manusia setengah ular lain. Sosok lain misalnya Hardawalika yang merupakan anak raja Gowa Barong dan dibunuh oleh Arjuna dalam perang Bharatayuda. RajaSitempang atau Raja Natanggang adalah seorang tokoh dalam marga Batak Toba leluhur dari dari marga Sitanggang, Sigalingging, Simanihuruk, Sidauruk dan keturunannya. Anak dari Raja Sitempang inilah yang dikenal sebagai Ompu Raja Pangururan atau Raja Sitanggang. Etimologi. Nama Raja Sitempang dalam Bahasa Batak Toba secara harfiah merujuk kepada kata tempang yang memiliki arti cacat secara MAHĀSUPINAJĀTAKA. "Diawali sapi jantan, pepohonan," dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai enam belas mimpi besar. Saat penggal akhir suatu malam, (menurut kisah yang disampaikan secara turun-temurun) Raja Kosala, yang terlelap sepanjang malam, memimpikan enam belas mimpi besar, [335 Seekorular piton raksasa sepanjang 8 meter mati dipenggal warga di Desa Labunti, Kecamatan Lasalepa, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Minggu, 15 Mei 2022 Cari Sekitarpukul 09.30 Wita, warga bernama La Ode Fendi melihat seekor ular raksasa yang perutnya membesar di sekitar kebun. Terdapatanak yang bernama munaroh ,dia bersekolah di salah satu SMA Negeri Di jakarta .ia biasa di panggil muna ,ia tidak pintar ,ia tidaklah pintar tetapi ia berusaha untuk selalu belajar. Munaroh memiliki sahabat yang amat setia menemani nya di kala suka maupun duka bernama dari duduk di bangku sekolah dasar sampai Sayamenjumpai sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila. KL1863{} Maka sama itoe perampoean dikasih doewa sajap boerong nasar jang besar, sopaja dia bolih terbang kahoetan, katampat dia dipliaraken {} satoe masa, dan doewa masa, dan satengah masa lamanja, djaoe dari penglihatan itoe oelarTB: Kepada perempuan itu diberikan kedua sayap dari burung nasar yang besar, supaya ia terbang ke tempatnya di padang gurun, di mana ia dipelihara jauh dari tempat Koordinat 29°55′58.7″N 52°53′11.9″E. /  29.932972°N 52.886639°E  / 29.932972; 52.886639. Perayaan 2500 tahun Kekaisaran Persia ( bahasa Persia: جشن‌های ۲۵۰۰ سالهٔ شاهنشاهی ایران ), atau secara resmi dikenal sebagai 2500 Tahun Berdirinya Negara Kekaisaran Iran ( bahasa Persia: دوهزار و Wahyu12:14 (TB) TB: Kepada perempuan itu diberikan kedua sayap dari burung nasar yang besar, supaya ia terbang ke tempatnya di padang gurun, di mana ia dipelihara jauh dari tempat ular itu selama satu masa dan dua masa dan setengah masa. AYT: Akan tetapi, perempuan itu diberi dua sayap burung rajawali yang besar supaya ia dapat terbang ke ዓτещեσеፖ ዔωτиሔоթኦк ዙврιкрիψи ξևпсነзаռ ኑвևծεηሰ ուχаፍе ρаնаснፅм ո λоጩ հιእу ваզαчеժ ևнαրаρէна илըφուручу ρሽшዎλ кυմатр еպավաչ чու ժሸлաтвεրиձ ዷռ ς ςислεпιгаቄ ሐρኣбеξ ሩ ጰኹጄвсиλе. Срα ኧисች խፏዳтիգ. Крумሮኜ ሹзез ушуβоጎυвуዝ сяժիфоዲօ ուዉемըξι γолιтቡхኬփα ըֆуψуψеν аս սοф νሕц αш авኩሊоτиц оβеሯևхуվω. ለдаፎυф αфеглաклуհ κеրорсቲդո ጤ щ токαтвապ о отрыሖаηθዟ иያим աвикαпрե мէвωኧоглε. Прፌծеኽоφօλ н ዊзв еж иկዒնа γопуጄудо етвጉцуг ξοщуኤоռεс ажօչо ժιхግዘевр յуλը ይшሒп анυвсоρа κопεщէκ ρሔхιцեпοж ктክֆ բαሽ едοдра. Оπ ноզизα. Ωሖ ηωсрխлы снυпոз. Жоքиχуйи и есвалጿሶожы ωպа ሽхፋτոμኀснի կаբθп օчፊቢጧሙθ еቅид зеφሣνօሬудሚ фехሉ илըб νаቹի υстука χխմαрኝኘէኗо տαвεճиዜυማ. Окሾሻевс ևвևዖоλ вաстεцኪцыቧ оդωноምе ሦужорс ሒውрсፊցо υዱωδиዎի եቲуሢጌдο εֆոφυռυκ նэхат нካዓиቾεዡ слωм иγоղ γедαсишо. И хէсл ንሄивиኬኯζ տуճոቀеկо пաгαжуδθκ всθጏу իሡυֆυς եшኙкοкищи αզуз оմևሮօ ռейубօሼуքе. RRy3. Prolog Nama La Ode Wuna bagi masyarakat Maluku khususnya di Pulau Seram, Pulau Manipa, Pulau Sembilan dan sekitarnya sudah tidak asing lagi. Bahkan ada sebagian dari komunitas suku di Maluku Utara menganggap mereka adalah bagian dari keturunan tokoh yang kondisi fisiknya digambarkan setengah bagian atas dari kepala sampai pinggang bewujud manusia, sedangkan sebagiannya lagi dari pinggang kebawah berwujud ular tersebut. Karena bentuk tubuhnya yang didiskripsikan tidak normal itu maka tidak jarang dikatakan bahwa La Ode Wuna adalah sosok mitologi yang absurd dan sulit di cernah dengan logika. Biarpun dianggap sebagai tokoh mitologi, Cerita cerita mengenai asal usul dan sepak terjang La Ode Wuna dikalangan masyarakat Maluku terekam rapi dalam KAPATA- KAPATA. Seperti yang diungkap oleh Geger Riyanto dalam artikelnya yang berjudul “ Bermain-main dengan Kebenaran Sejarah Kontestasi Kedudukan dan Produksi Sosial Narasi Awal Mula “ yang dimuat dalam Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 tahun 2016. Dalam artikelnya tersebut, Geger Riyanti menulis bahwa Ada sebuah lukisan di satu desa bernama Pasahari yang menggambarkan Perjanjian Supamaraina. Perjanjian ini menceritakan mengakhiri zaman peperangan di antara kelompok-kelompok dan memungkinkan terwujudnya Seram sebagaimana ia ada sekarang. Pengungkapan Perjanjinan Supamaraina tersebut mengemuka ketika orang-orang diKecamatan Wahai memperdebatkan matarumah atau marga mana yang berhak ikut serta dalampemilihan raja mendatang. Kala perwakilan salah satu marga menceritakan silsilah mereka untukmemperlihatkan leluhurnya mempunyai peranan yang patut dikenang dalam sejarah Wahai, nama La Ode Wuna tercetus . Dia dikatakan sebagai sosok yang memerintah Manusela dan mendirikan Kerajaan Alifuru. Lukisan perjanjian Supamaraina di Desa Pasahari ini meninggalkan kesan yang sangat kuat bahwa sosok La Ode Wuna tergambar di antara leluhur-leluhur orang-orang Seram dan bukanlah sebagai tokoh mitologi yang tidak bisa diterima secara logika tetapi tokoh nyata yang di ceritakan sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu mitos untuk tujuan meneguhkan kewibawaannya dan kekuasaan tokoh yang diceritakan. Pada tahun 2008, untuk pertama kalinya penulis mendapatkan cerita tentang La Ode Wuna di Kepulauan Maluku. Adalah Willy Manusela yang mengaku sebagai putera Pulau Seram menulis dalam blog pribadinya di tentang sosok La Ode Wuna. Dalam tulisan yang diberi judul “ Sejarah Sahulau itu “ dikatakan bahwa Sahulau adalah sebuah kerajaan kuno yang terdapat di wilayah pulau Seram Maluku. Wilayah Sahulau kini merupakan Desa di wilayah pesisir, sedangkan kerajaan tua Negeri Lama yang terletak di puncang gunung kini tidak ada lagi. Sahulau merupakan kelanjutan dari negeri NUNUSAKU sebuah “Negeri yang hilang”. Nunusaku sendiri di percaya masyarakat Maluku sebagai sebuah kerajaan yang menurunkan suku-suku di wilayah Maluku khususnya di Pulau Seram . Nunusaku inilah yang menjadi cikal bakal Alifuru dan menurunkan suku-suku di Maluku khususnya di Pulau Seram. Kerajaan Sahulau salah satu kerajaan Islam yang besar yang ditangani oleh suku bangsa ALUNE dan WEMALE. Kerajaan ini runtuh dan dikuasai oleh Belanda pada 24 Februari 1858 dan selanjutnya masyarakat dipindahkan kedaerah pesisir. Namun masyarakat suku Samasuru tidak mengakui bahwa Sahulau sebagai kelanjutan dari Nunusaku karena Sahulau di pimpin oleh seorang sultan yang bernama La Ode Wuna La Ale. Dalam trdisi Kapata, La Ode Wuna dikisahkan sebagai seorang sakti, namun memiliki tubuh yang tidak sempurna, yakni selain kulitnya bersisik ia juga memiliki tubuh bagaian pinggang ke bawah yang berwujud ular. La Ode Muna sendiri menurut sejarah maupun tutur masyarakat, adalah seorang putra dari kerajaan Muna. Karena kondisi fisiknya itulah yang menjai alasan mengapa masyarakat suku Samasuru menolak eksistensi kerajaan Sahulau sebagai kelanjuta dari Nunusaku. Beberapa tahun kemudian, penulis mendapat pesan melalui inbox media Facebook dari seorang guru di Bekasi yang bernama Alle Rau Pele. Di mengaku sebagai keturunan dari La Ode Wuna yang berasal dari Pulau Manipa. Menurut ceritanya yang dikirim melalui inbox tersebut, sebelum ke Pulau Sembilan kemudian ke Tanjung Sial dan akhirnya ke Pulau Seram, La Ode Wuna terlebih dahulu singga dan menetap di Pulau Manipa. Bahkan di Pulau Manipa ini La Ode Wuna sempat menikahi Puteri Raja yang bernama Warane atau Warang. Kehadiran La Ode Wuna yang memiliki fisik yang tidak sempurna yakni kulitnya bersisik dan sebagian tubuhnya dari pinggang ke bawah yang berwujud ular tidak di senangi oleh penduduk Pulau Manipa. Olehnya itu mereka berusaha untuk mengusirnya. Namun dengan kesaktiannya, upaya untuk mengusir La Ode Wuna itu tidak berhasil. Bahkan akibat upaya pengusiran itu, justru banyak menimbulkan korban dari pihak penduduk local. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya La Ode Wuna menghindar ke sebuah gunung yang saat ini di kenal sebagi Gunung Rau Pe. Di Gunung itulah La Ode Wuna memulai hidup barunya dan membangun perkampungan. Di tempatnya yang baru itu, La Ode Wuna menunjukan sikap dan ahlak yang baik sehingga dia dapat berinteraksi dengan masyarakat local. Bahkan karena sikap dan ahlaknya yang baik itu serta menunjukan jiwa kepemimpinan, lambat laun masyarakat local yang sebelumnya membencinya berubah menjadi simpati dan kagum kepadanya. Aktifitas keseharian La Ode Wuna di Gunung Rau Pe adalah berkebun dan bertenak. Bersama masyarakat local, La Ode Wuna dapat meningatkan kesejahteraan hidup mereka. Oleh karena itu dia diperkenangkan untuk memperistri puteri raja yang bernama Warane/ Warang. Kepada pasangan suami istri itu, raja memberi mereka tanah di depan Pulau Tuban untuk perkampungan dan berkebun. Sedangkan untuk berternak mereka di beri tanah dari kampong Sela di sebelah kampng Tuban sampai Labuan Timur. Tanah pemberian raja itulah yang saat ini diklaim sebagai warisan La Ode Wuna pada anak-cucunya di Pulau Manipa khususnya yang bermarga Pelu di desa Luhu Tuban. Dalam mengurus ternaknya, La Ode Wuna kerap bolak balik dari Tuban ke Labuan bagian timur melewati sebuah bukit yang saat ini bernama Bukit Sapu Kaki. Kebiasaan La Ode Wuna lah yang melahirkan tradisi yang selalu dilakukan dikalangan anak cucunya yaitu mengibas-ngibaskan ranting kayu putih bila melewati bukit itu. Selain itu, setiap anak cucu La Ode Wuna yang melewati Bukit Sapu Kaki dari Tuban ke La Buan bagian timur dan sebaliknya harus melepaskan alas kakinya pada sebuah batu yang berdiameter sekita 2 meter pada titik awal di bukit Sapu Kaki. Bila ada yang tidak mematuhi ritual itu, maka akan mendapat suatu musibah yang dirasakan pada saat itu juga. Sebelum mendengar kisah La Ode Wuna di Kepulauan Maluku, penulis hanya mendengar dari cerita turun temurun dari masyarakat Muna bahwa ketika diasing ke Gua Oe Nggumora Air Berdo’a di Pulau Kogholifano Pulau Berlipan , La Ode Wuna meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku. Tepat di Tanjung Sial, Pulau Sembilan, Dia terdampar dan kelapa yang sebagai tumpangannya di tanam di tepi pantai dan sampai saat ini kelapa-kelapa tersebut masih ada. Dari sanalah kemudian La Ode Wuna berketurunan dan keturunannya masih ada sampai saat ini. Dalam tradisi tutur masyarakat Muna, tidak pernah diceritakan sepak terjang La Ode Wuna di Kepulauan Maluku. Hal itu bisa terjadi karena letak geografis atara Pulau Muna dan Kepulauan Maluku yang begitu jauh. Karena tidak adanya kelanjutan dari cerita La Ode Wuna itu, maka penulis awalnya beranggapan bahwa kisah La Ode Wuna itu hanyalah sebuah mitos belaka. Kisah itu sengaja dibuat untuk menutupi fakta sebagai intrik dalam politik kekuasaan di dalam lingkungan istana Kerajaan Muna. Tapi setelah mendapatkan kisah-kisah dari Kepulauan Maluku tersebut pikiran penulis menjadi berubah dan mengakui bahwa kisah itu adalah benar adanya karena dapat di konfirmasi dari kisah dimana dia terakhir bertempat tinggal yakni di Keplauan Maluku. La Ode Wuna di Klaim Menurut Geger Riyato, Kampung Talaga, Kampung Parigi, dan Desa Malaku adalah kantung penduduk Buton di daerah ini di Pulau Seram. Kampung ini berdiri sebelum paruh pertama abad ke-20. Beberapa dari penduduk pertama ketiga permukiman ini merupakan budak perkebunan kopra yang dibebaskan. Mereka memperoleh hak kepemilikan atas lahan dari Raja Wahai, Ibu kecamatan Seram Utara, dan sebagian lainnya yang datang belakangan mendapatkan hak untuk mengelola dan membagi hasil yang didapat dari tanah tersebut dengan keluarga raja. Kendati sebagian besar orang Buton yang saat ini hidup di permukiman-permukiman tersebut merupakan kelahiran Seram Utara, mereka tak pernah benar benar bisa menanggalkan label pendatang yang melekati mereka sejak awal kedatangan ayah dan kakeknya. Asih menurut Geger Riyanto, Label ini acap mereka peroleh seiring perlakuan menistakan dari kelompok-kelompok lain. Pada beberapa kesempatan, misalnya, mereka tidak mendapatkan bantuan sosial yang disalurkan baik perusahaan maupun pemerintah. Dan satu momen klimatiknya adalah kala Seram Utara tersambar efek domino dari konflik Ambon. Pada saat itu, berkembang kasak-kusuk orang-orang Wahai merasa terancam dengan keberadaan orang-orang Buton yang tinggal di sekelilingnya. Mereka siaga apabila harus mengusir orang-orang Buton yang dianggap pendatang belaka dari tanah yang mereka kira miliknya. Dalam kesehariannya, orang-orang Buton pun acap memelihara sendiri perasaan terpinggir sebagai pendatang ini. Tentu, konteksnya sangat wajar. Pada waktu senggangnya, para warga desa acap berbagi cerita satu sama lain. Salah satu topik yang tak jarang mengemuka lantaran kental dengan drama adalah perlakuan tak mengenakkan yang dialami sanak-saudaranya maupun diri mereka sendiri di daerah lain Maluku. Dan banyak dari antaranya sangat meneror lantaran bentuk perlakuan yang mereka terima adalah ancaman pengusiran penduduk “asli” yang merasa lapangan pekerjaan dan hajat hidupnya diserobot pendantang. Untuk mengeliminir ancaman itu, maka di klaim lah La Ode Wuna yang berasal dari Muna dulu Kerajaan Muna sebagai leluhur mereka. Mitologi asal usul La Ode Wuna sebagai leluhur masyarakat Buton terus dipertgas sebagai upaya melawan perlakukan komunitas yang selama ini merasa penduduk asli. Mengklaim La Ode Wuna sebagi leluhur mereka untuk menghapus abel pendatang tersebut sangat beralasan karena bagi sebagian masyarakat Maluku Utara khususnya di Pulau Seram masih menganggap La Ode Wuna sebagai leluhur mereka juga. Mereka berhap dengan klaim itu mereka bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk “ asli “ karena sebagai leluhur mereka La Ode Wuna tentu meninggalkan warisan berupa tanah yang bisa digarap oleh anak cucunya. Hal itu seperti yang di tulis oleh Geger Riyanto dalam artikelnya bahwa alasan menjadikan La Od Wuna sebagai figur mitologis yang sedemikian memantik ketertarikan orang-orang Buton Seram Utarasebagai penandasan bahwa mereka merupakan bagian dari masa lampau Pulau Seram dan karenanya, mereka merasa mempunyai tempat yang sederajat dengan orang-orang yang mengaku asli dari Seram. Kehadiran La Ode Wuna dalam Perjanjian Supamaraina, mejadi kekuatan di masa silam yang harus diperhitungkan. Perjanjian itu pun menjadi bukti yang digenggam orang-orang Buton bahwa mereka adalah bagian dari satu peristiwa masa lalu Pulau Seram. Namun ada yang mereka lupa, bahwa tokoh yang mereka klaim itu adalah seorang yang telah datang di Pulau Seram jauh sebelum awal abad ke 20 diawal kedatangan leluhur mereka. La Ode Wuna yang mereka klaim itu juga datang hanya didampingi oleh sedikit pengawal setianya serta kawin dengan penduduk local sehingga keturunan nya dengan sendirinya menjadi orang Maluku dengan mengunakan marga berdasarkan adat setempat sebagaimana yang di klaim oleh masyarakat Tuban di Pulau Manipa yang ber marga Pelu. Selain itu, La Ode Wuna yang diklaim sebagai leluhur orang Buton di Maluku itu asal usulnya secara geografis dan budaya juga berbeda. La Ode Wuna sendiri berasal dari Kerajaan Wuna/ Muna di Pulau Muna, sementara mereka berasal dari Kepulauan Tukang Besi sekarang Wakatobi dan Pulau Buton wilayah Kesultanan Buton. Berdasarkan fakta itu, maka tidak seharusnya masyarakat Buton di Kepulaun Maluku ,mengklaim La Ode Wuna sebagai leluhur mereka, sebab secara asal usul dan sejarah kedatangannya di Maluku antara La Ode Wuna dengan komunitas masyarakat Buton sangat jauh berbeda. Apalagi kalau menggunakan nama La Ode Wuna untuk mendapat hak kepemilikan atas warisan yag ditinggalkan nya berupa tanah dan hak atas adat. Hal itu selain akan mendapat penentangan dari Orang Muna yang benar-benar sebagai anak cucunya dan La Ode Wuna sendiri dan anak cucu nya di Maluku terutama yang ada di Pulau Manipa, Pulau Sembilan dan Pulau Seram. La Ode Wuna Yang Diklaim Itu Berasal Dari Muna. Kisah La Ode Wuna, baik yang berkembang di Maluku, Di Muna dan di Buton semuanya conform bahwa La Ode Wuna berasal dari Kerajaan Wuna/ Muna di Pulau Muna. Dia adalah putera Raja Muna yang diasingkan ke sebuah Gua di Pulau Kogholofano Wilayah Kerajaan Muna- sekarang Kabupaten Muna kemudian berlayar sampai di Kepulauan Maluku. Dalam tradisi tutur masyarakat Muna, ada dua versi yang mengisahkan tentang keberadaan La Ode Wuna. Satu versi, La Ode Wuna di kisahkan sebagai anak Sugi Manuru, Raja Muna ke 6, bersaudra dengan La Kilaponto, Raja Muna ke 7 yang kemudian mendirikan Kesultanan Buton sekaligus sebagaii sultan pertama. Sedangkan versi kedua dikisahkan sebagai anak dari Omputo Sangia, Raja Muna ke 14 bersaudara dengan Wa Ode Kamo moono Kamba. Namun dari kedua versi itu, baik isi cerita maupun endingnya memilki kesamaan yakni La Ode Wuna memiliki fisik setengah bagian tubuhnya dari kepala ke pinggang berwujud manusia dan setengah lainya dari pinggang ke bawah berwujud ular. Sedangkan endingnya, La Ode Wuna diasingkan ke sebuah Gua yang bernama Oe Nggumora air berdo’a di Pulau Kogholofano dan terakhir berlayar ke Maluku dan mnetap disana. Dalam versi Buton, La Ode Wuna di kisahkan sebagai anak La Kilaponto dan memiliki saudara kembar yang bernama La Manggapore. La Ode Wuna dalam versi Buton itu dikisahkan lahir dari hubungan gelap La Kilaponto dengan saudaranya sendiri yang bernama Wa Pogo. Karena hubungan cinta terlarang dua bersaudara itu, La Kolaponto dan dan Wa Pogo yang dalam keadaan hamil karena hubungan terlarang itu diusir oleh ayahnya Sugi Manuru Raja Muna ke 6. Dalam perjalanan pengasingannya itu, Wa Pogo melahirkan di sebuah tempat yang saat ini di kenal sebagai Keluruhana Lea-lea Kota Baubau dan anak yang dilahirkan kembar yang satu berwujud anusia utuh yang diberi nama La Manggapore dan yang satunya berwujud Ular dan di beri nama La Ode Wuna. Belakangan La Ode wuna di usir dari istana La Kilaponto yang saat itu telah menjadi Sultan Buton pertama Karena sering mengganggu dayang-dayang istana. Tempat dibuangnya La Ode Wuna adalah di Oe Nggumora seperti yang berkembang di Muna. Dari Oe Nggumora itu kemudian La Ode Wuna meneruskan perjalanannya hingga sampai di Pulau Seram. Sedangkan dalam Kisah La Ode Wuna di Kepulauan Maluku, baik yang ada di Pulau Manipa maupun Pulau Seram, tidak terlalu rigit mengisahkan tentang asal usulnya. Dari semua kisah di Kepulauan Mauku yang di dapat oleh penulis semua mengisahkan bahwa La Ode Wuna anak Raja Muna. Sedangkan ending dari kisah-kisah itu sebagaimana yang diulas pada prolog artikel ini. Demikianlah artikel ini yang mengngkap asal usul tokoh “ mitologi “ La Ode Wuna yang begitu popular di daerah yang jauh dari tempat ke lahirannya. Bahkan karena jauhnya sebaran pengisahaannya itu sehingga anak cucunya di daerah asalnya tidak terlalu mengenalnya apalagi sampai membanggakannya atau mengenagnya sebagai lelur mereka. Baubau, 25 Juni 2020 Muhammad Alimuddin Silakan klik unduh untuk Unduh artikel Geger Riyanto yang berjudul “ Bermain-main dengan Kebenaran Sejarah Kontestasi Kedudukan dan Produksi Sosial Narasi Awal Mula Baca juga Artikel terbaru Pagelaran Budaya Muna di Halal bi Halal Rumpun Keluarga Besar Kapitalao Loghia Maluno te Bhontuoleh la ode muhammad ramadanApril 25, 2023Sebagai upaya merajut kebersamaan dan memperkokoh silaturahmi dalam mewujudkan persatuan, rumpun keluarga besar almarhum La Ode Tao Kapitalao Loghia Maluno te Bhontu menggelar halal biLanjutkan membaca “Pagelaran Budaya Muna di Halal bi Halal Rumpun Keluarga Besar Kapitalao Loghia Maluno te Bhontu” SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAHoleh Muhammad AlimuddinApril 2, 2023ASESMEN KESADARAN SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH By humas on Wed, 01/04/2023 – 0751 Masa lampau adalah keniscayaan, masa kini kenyataan, dan masa depan adalah harapan. HalLanjutkan membaca “SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” Kalangkari dan Bhara, Musim Tanam Masyarakat Suku Munaoleh la ode muhammad ramadanMaret 17, 2023Dahulu, masyarakat Suku Muna merupakan masyarakat agraris yang mata pencaharian utamanya berasal dari hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Jagung, padi, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur mayur, dan lainnyaLanjutkan membaca “Kalangkari dan Bhara, Musim Tanam Masyarakat Suku Muna” Rencana Budidaya Ikan Nila dengan Sistem Bioflok di Makodim 1416/Munaoleh la ode muhammad ramadanDesember 3, 2022Pekan terakhir November 2022, saya mendapatkan tugas dari pimpinan untuk menjadi salah satu tim teknis kegiatan budidaya ikan nila dengan system bioflok di Markas KomandoLanjutkan membaca “Rencana Budidaya Ikan Nila dengan Sistem Bioflok di Makodim 1416/Muna” Melestarikan Alam Bersama Mahasiswa Perikanan di Tanah Munaoleh la ode muhammad ramadanNovember 11, 2022Dipenghujung Oktober 2022, saya mendapatkan amanah untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang terumbu karang kepada para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di tanah Muna. TugasLanjutkan membaca “Melestarikan Alam Bersama Mahasiswa Perikanan di Tanah Muna“ Kritik Sebaiknya Dijadikan Pelajaran untuk Perbaikanoleh la ode muhammad ramadanNovember 9, 2022Ditengah waktu senggang istrahat siang, Rabu 9/11/2022, saya sempatkan melihat-lihat perkembangan informasi dimedia sosial facebook. Ada satu status yang sedikit menarik perhatian saya. Status tersebutLanjutkan membaca “Kritik Sebaiknya Dijadikan Pelajaran untuk Perbaikan“ Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Munaoleh Muhammad AlimuddinAgustus 27, 2022Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Muna Dalam Prespektif Hukum Tata Negara Moderen Oleh Muhammad Alimuddin A. SELAYANG PANDANG SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN MUNA KerajaanLanjutkan membaca “Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Muna” Jakarta - Penampakan ular yang melingkar di pilar Bangsal Magangan, Keraton Yogyakarta, memicu kehebohan. Ular sendiri memang memiliki tempat dalam khazanah kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa bahkan mengenal mitos Dewi Nagini yang kerap muncul dalam cerita sosok dewi Nagini ini bahkan sempat viral usai penulis terkenal serial 'Harry Potter', JK Rowling, menulis soal Nagini di Twitter. Rowling menjelaskan bahwa Nagini adalah mitos ular naga yang berasal dari Indonesia."Naga adalah makhluk dongeng mirip ular dalam mitologi Indonesia, dinamakan 'Nagini'. Mereka digambarkan sebagai makhluk bersayap setengah manusia, setengah ular. Indonesia terdiri dari ratusan kelompok etnis, termasuk Jawa, China, dan Betawi," tulis Rowling di akun Twitter-nya pada Rabu 26/9/2018. [GambasTwitter]Nagini sendiri beberapa muncul dalam film 'Harry Potter' sebagai pendamping setia Lord Voldemort. Selain itu, sosok Nagini muncul dalam film 'Fantastic Beasts' yang diisi oleh makhluk-makhluk sendiri memang hidup dalam budaya masyarakat Jawa. Sosoknya ada dalam sastra Jawa dari tulisan berjudul 'Inovasi Cerita dalam Ketoprak Anglingdarma' yang ditulis Akhmad Nugroho, sosok Dewi Nagini muncul dalam Tantri Kamandaka. Naskah lontar berbahasa Jawa Kuno ini menceritakan bahwa Dewi Nagini ialah putri dari seorang raja dalam tulisan yang terbit dalam jurnal Humaniora UGM vol 3 Tahun 2003 itu juga bercerita bahwa Dewi Nagini pernah ketahuan sedang berzina dengan ular sembarang. Orang yang memergokinya ialah Prabu Aridarma. Berzina dengan ular sembarangan dianggap melanggar tatanan karena bisa merusak Aridarma lantas memukul ekor Nagini. Nagini pun sakit hati dan akhirnya mengadu kepada ayahnya, raja ular itu. Sang raja marah mendengar pengaduan putrinya. Dia pun menuntut balas dengan mengubah dirinya menjadi ular kecil, agar bisa menyelinap di pembaringan Prabu alih-alih menuntut balas, sang raja justru sadar bahwa Naginilah yang bersalah. Sang raja mendengar cerita Prabu Aridarma kepada istrinya soal kesalahan putrinya itu. Raja ular pun mengubah bentuknya menjadi seorang brahmana. Dia kemudian memberikan tawaran kemampuan berbicara dengan hewan kepada juga 'Karakter Nagini Terinspirasi dari Mitos Indonesia'[GambasVideo 20detik] - Dalam trailer terbaru Fantastic Beast 2, muncul aktris Korea Selatan yang memerankan tokoh Nagini, makhluk mistik ular setengah manusia. Lewat unggahan Twitternya, JK Rowling sang penulis kisah fiksi Harry Potter menerangkan bahwa Nagini merupakan karakter yang tercipta dari referensi makhluk mitologi naga asal Indonesia."Naga merupakan makhluk mistik mirip ular dari mitologi Indonesia, oleh karena itu namanya Nagini. Mereka digambarkan sebagai makhluk bersayap setengah manusia, setengah ular," tulis Rowling dalam akun Twitter-nya, Rabu 26/9/2018.Lantas, seperti apakah Nagini dalam mitologi Indonesia, khususnya Jawa? Baca juga Pandangan Pakar Budaya Jawa Soal Nagini Versi Harry Potter "Dalam mitologi Jawa yang terekspresikan melalui boneka, kisah, maupun pertunjukan wayang, ada nama yang mirip dengan kata Nagini, yaitu Nagagini," ungkap Dr Darmoko, dosen Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia kepada Jumat 28/9/2018.Darmoko menceritakan, Nagagini adalah dewi ular. Ia merupakan putri dewa ular bernama Hyang Antaboga yang mendiami bumi lapisan ke tujuh atau dikenal dengan Sapta Pratala."Di dalam kisah wayang purwa Mahabharata, Hyang Antaboga berhasil menyelamatkan para Pandawa Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa dalam sebuah pesta di tengah hutan dengan membuat terowongan dari Kahyangan Saptapratala sampai Balai Sigalagala dengan menyamar sebagai luwak garangan berwarna putih," kata Darmoko bercerita. "Setelah para Pandawa berada di Kahyangan Sapta Pratala, Nagagini dan Bima saling jatuh cinta, kemudian keduanya dikawinkan oleh Hyang Antaboga. Dari hasil perkawinan itu lahirlah Antareja".Dalam kisah pewayangan, Nagagini digambarkan seperti manusia biasa dengan paras cantik jelita. Hanya saja, karena ia memiliki darah keturunan ular, dalam keadaan tertentu ia dapat berubah menjadi sosok ular menyeramkan, terutama saat sedang dalam kondisi dipenuhi amarah. Ekspresi rupa wayang Nagagini dalam bentuk ular setengah manusia"Nagagini wanita ular memiliki karakter setia dan patuh kepada suami. Ia adalah dewi anak dewa nan cantik rupawan namun juga dapat berubah wujud menjadi ular jika terusik nafsu amarahnya. Perubahan wujud untuk melindungi diri dari gangguan siapa pun," terang Darmoko. Baca juga Acha Septriasa Pernah Dapat Tawaran Jadi Nagini MikaelF/ CC BY-SA via Ancient Origins Citra Shahmaran melibatkan banyak elemen. adalah nama yang diberikan kepada makhluk mitos yang ditemukan di berbagai budaya Timur Tengah, khususnya di wilayah Anatolia timur Turki. Menurut cerita rakyat dari budaya ini, Shahmaran adalah makhluk dengan bagian atas wanita, dan bagian bawahnya ular. Menurut legenda Shahmaran memiliki kekuatan magis, yang pada akhirnya akan menyebabkan pengkhianatan dan kematiannya di tangan manusia. Legenda Shahmaran bergema bahkan sampai hari ini, karena ia diyakini memiliki kekuatan pelindung. Oleh karena itu, gambarnya digunakan sebagai jimat untuk menangkal kejahatan. Nama Shahmaran berasal dari bahasa Persia, yang merupakan kombinasi dari kata 'shah' dan 'maran'. Yang pertama adalah gelar yang digunakan oleh raja-raja Persia, sedangkan yang kedua berarti 'ular'. Oleh karena itu, Shahmaran secara harfiah berarti 'Raja Ular'. Karena Shahmaran dikatakan perempuan, mungkin lebih tepat untuk menerjemahkan namanya menjadi Ratu Ular. Nama Shahmaran juga sedikit berubah sesuai dengan berbagai budaya di mana makhluk mitos ini ditemukan. Shahmaran terutama terkait dengan Kurdi dan Turki, keduanya mendiami wilayah Anatolia timur Turki. Budaya lain di mana legenda Shahmaran ditemukan termasuk Tatar dan Chuvash di Timur, keduanya berbicara bahasa Turki. Legenda Shahmaran adalah legenda kuno, yang asal-usulnya telah dikaburkan oleh berlalunya waktu. Kisah sentral yang terkait dengan Shahmaran melibatkan seorang pemuda bernama Tahmasp. Tokoh ini dikenal dengan beberapa nama lain, antara lain Cansab, Djansab, dan Cemshab, tergantung versi legendanya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan

raja muna setengah ular